Jumat, 26 November 2010

Dinamika Sosial Ekonomi Pada Ilmu Ekonomi Islam (Kontribusi Pemikiran Ibnu Khaldun).


            Ibnu Khaldun adalah seorang ulama Islam terkemuka terutama pada bidang sosial pada abad ke-9 Hijriah atau abad ke-15 Masehi, beliau menyusun kitab Al’ibar yang terdiri dari tujuh jilid, kitab Al-’ibar berisi tentang sejarah, atau pelajaran-pelajaran dari sejarah. Buku pertama dalam kitab Al-’Ibar diberi judul dengan Muqadimah yang berarti pendahuluan, didalam jilid satu atau Muqadimah dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas suatu dinasti dan peradaban dengan melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang saling berhubungan seperti faktor peran moral, psikologis, politik, ekonomi, sosial, demografi, dan sejarah dalam fenomena jatuh dan bangunnya dinasti dan peradaban.  Menurut Ibnu Khaldun, historiografi atau ilmu tarikh adalah suatu ilmu pengetahuan yang menganalisis sebab-sebab dan sumber-sumber, atau bagaimana dan mengapa suatu fenomena terjadi dalam sejarah manusia. Ibnu Khaldun menjadikan pusat analisisnya adalah manusia, ia memandang jatuh bangunnya suatu dinasti atau peradaban sangat bergantung pada kesejahteraan atau kesulitan hidup manusia. Dalam anilisisnya, fenomena jatuh dan bangun suatu dinasti dan peradaban bergantung tidak saja pada variabel-variabel ekonomi saja, melainkan juga pada sejumlah faktor lain yang turut menentukan kualitas individu, masyarakat, penguasa, dan lembaga-lembaga.[1]
Model Dinamika Sosial Ekonomi (Lintas Disiplin) Ibnu Khaldun.[2]
            Keseluruhan model Ibnu Khaldun dapat diringkas dalam nasihatnya kepada para raja sebagai berkut:
1.      Kekuatan kedaulatan (al-mulk) tidak dapat dipertahankan kecuali dengan mengimplementasikan syariah;
2.      Syariah tidak dapat diimplementasikan kecuali oleh sebuah kedaulatan (al-mulk);
3.      Kedaulatan tak akan memperoleh kekuatan kecuali bila didukung oleh sumber daya manusia (ar-rijal);
4.      Sumber daya manusia tidak dapat dipertahankan kecuali dengan harta benda (al-mal);
5.      Harta benda tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan (al-‘imarah);
6.      Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali dengan keadilan (al-‘adl);
7.      Keadilan merupakan tolak ukur (al-mizan) yang dipakai Allah untuk mengevaluasi manusia; dan
8.      Kedaulatan mengandung muatan tanggung jawab untuk menegakkan keadilan.
Nasihat para raja diatas merupakan model lintas disiplin, karena menghubungkan semua variabel politik dan sosial ekonomi yang penting, yaitu syariah (S), otoritas politik atau pemerintah (G), manusia atau rijal (N), harta benda  atau mal (W), pembangunan atau ‘imarah (g), dan keadilan atau al-‘adl (j), dalam sebuah daur perputran interdependen, masing-masing mempengaruhi yang lain dan pada gilirannya akan dipengaruhi oleh yang lain pula. Operasi daur ini terjadi dalam sebuah reaksi berantai dalam suatu periode yang panjang yaitu suatu dimensi dinamisme dimasukkan ke dalam keseluruhan analisis dan membantu menjelaskan bagaimana faktor-faktor politik, moral, sosial, dan ekonomi berinteraksi terus menerus dan mempengaruhi kemajuan dan kemunduran atau jatuh dan bangunnya suatu peradaban. Dalam analisis jangka panjang ini, tidak berlaku asumsi ceteris paribus, karena tak ada variabel yang konstan atau tetap.
            Jika kita mengkespresikan analisis ibnu Khladun dalam bentuk suatu hubungan fungsional, maka akan kita peroleh fungsi sebagai berikut
G = f(S,N,W,g dan j)
            Persamaan ini tidak menangkap dinamika model Ibnu Khaldun, tetapi hanya merefleksikan karakter lintas disiplinnya dengan menyertakan semua variabel utama yang didiskusikan. Dalam persamaan ini, G dipandang sebagai variabel dependen, karena salah satu keprihatinan utama Ibnu Khaldun adalah menjelaskan faktor-faktor penyebab jatuh dan bangunnya suatu dinasti (negara) atau peradaban. Menurutnya, kekuatan dan kelemahan suatu dinasti bergantung kepada kekuatan dan kelemahan otoritas politik . Dalam menjaga kelangsungan hidup jangka panjang, otoritas politik (G) harus menjamin kesejahteraan rakyat (N) dengan menyediakan suatu lingkungan yang tepat untuk mengaktualisasikan pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi syariah (S) dan pembangunan dan distribusi kekayaan (W) yang merata atau adil.



[1] Umer Chapra. 2001. “Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam”. Jakarta: Gema Insani Press. Hal.125-126
[2] Umer Chapra. 2001. Ibid. Hal. 126-129.

Senin, 22 November 2010

Perbedaan Filosofis Antara Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional

Dalam literatur ekonomi konvensional permasalahan ekonomi dimulai dari bagaimana manusia dapat memenuhi setiap kebutuhannya dimana sumberdaya yang ada dianggap begitu terbatas atau langka. Sehingga diperlukannya strategi yang mencangkup bagaimana perilaku setiap individu hingga Negara dalam mengambil keputusan guna memenuhi setiap kebutuhan tadi. Asas yang mendasari keputusan-keputusan tersebut bersumber dari falsafah liberalisme[1] dengan slogan populer yang dikemukakan oleh sang penemu ilmu ekonomi modern Adam Smith yaitu “laissez-faire laissez-passer”  yang berarti hak kebebasan yang seluas-luasnya bagi individu dalam setiap kehidupan tanpa campur tangan pihak lain termasuk masalah ekonomi.[2] Oleh karena itu sistem ekonomi yang ada sekarang ini tidak terlepas dari nilai-nilai tersebut sehingga mempengaruhi setiap kebijakan pemerintah.[3]
Namun disisi lain permasalahan yang timbul akibat dari sistem ekonomi konvensional adalah bagaimana singkronisasi antara berbagai motif individu yang berbeda-beda yang cenderung memikirkan diri sendiri berubah menjadi perpaduan yang menciptakan tatanan sosial ekonomi yang harmonis dan menciptakan kemakmuran yang merata. Pada kenyataanya tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat kesenjangan sosial di masyarakat semakin tinggi, meski secara angka pertumbuhan ekonomi dalam berbagai indikator cukup meningkat, tetapi kemiskinan dan pengangguran tidak berkurang signifikan, bahkan dirasa semakin bertambah.[4]
Sistem Ekonomi Islam yang merupakan bagian dari ajaran Dinul Islam memiliki konsep yang menyeluruh (Syamiil Mutakamiil) sebagai agama samawi yang memiliki nilai-nilai  Illahiyah yang bertujuan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kesengsaraan baik di dunia maupun di akhirat. Hal tersebut telah terbukti dari sejarah nya di masa lampau yang memiliki kejayaan selama berabad-abad yang lambat laun jatuh pada puncaknya sekitar tahun 1928 yang ditandai jatuhnya khilafah Turki Ustmani akibat Umat Islam telah melupakan ajarannya yang lurus dan suci. Ajaran Dinul Islam yang merupakan Rahmatan Lil’Alamin memiliki solusi dan batasan yang jelas terhadap semua permasalahan di setiap sendi-sendi kehidupan manusia, diantaranya permasalahan ekonomi.
Dalam Sistem Ekonomi Islam permasalahan ekonomi bukanlah seperti yang dipaparkan dalam teori ekonomi konvensional, dimana singkronisasi kelangkaan sumberdaya dengan kebutuhan manusia menjadi biang keladi permasalahan ekonomi mulai dari perilaku individu hingga kebijakan Negara. Dalam sistem ekonomi Islam, permasalahan ekonomi adalah bagaimana manusia dapat memanfaatkan atau mengolah dengan segala kemampuan akalnya terhadap sumberdaya yang ada untuk tujuan sebagai sarana Ibadah atau menghambakan diri pada Allah SWT sang pencipta segala sumberdaya tersebut secara proporsional atau tidak berlebih-lebihan. Sebab ajaran Islam meyakini bahwasanya Allah SWT menciptakan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi pastilah sesuai dengan kebutuhan semua makhluknya, sehingga tidaklah mungkin Allah salah dalam menakar sesuatu ciptaanNYA. Setelah itu diharapkan dapat menciptakan proses harmonisasi sosial yang penuh dengan nilai-nilai kebaikkan universal sehingga menyebabkan perputaran ekonomi di masyarakat dapat terjadi secara adil, merata serta selalu tumbuh dan berkembang. Singkatnya permasalahan ekonomi dalam Islam adalah mengelola sumberdaya dengan niat, semangat, dan cara yang penuh nilai-nilai Illahiyah dan efeknya adalah kepastian perputaran sumberdaya di masyarakat secara adil, dan merata.[5] Oleh karena itu perlunya kita mempelajari dan mendalami bagaimana ajaran Islam memberikan solusi yang menyeluruh dalam mengatasi permasalahan ekonomi terutama distribusi kemakmuran diantara setiap umat manusia yang lebih adil, sejahtera dan merata.


[1] Liberalisme atau Liberal adalah sebuah idiologi, pandangan filsafat dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.  Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas (Wikipedia)
[2] Lihat William Ebenstein, Edwin Fogelman, dan Alex Jemadu. 1994. “Isme-Isme Dewasa Ini”. Jakarta : Penerbit Erlangga
[3]  Ganjar Isnawan,2007 “Peran Pemerintah Dalam Perekonomian : Perbandingan Teoritis Antara Sistem Ekonomi Islam dengan Sistem Ekonomi Konvensional”. Bandung : Skripsi S1 IESP UNPAD.Bab.3
[4]Lihat www.ekonomi.tvone.co.id/berita/view/29345/2009/12/08/bps_angka_kemiskinan_2010_tak_banyak_berubah_dari_2009
[5] Lihat Ali Sakti,S.E, M.Ec,2007.”Analisis Teoritis Ekonomi Islam: Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern”. Jakarta : Paradigma&Aqsa Publishing.

Rabu, 17 November 2010

Perubahan Menuju Kesuksesan...

Bismillahirrahmanirrahim, hari ini merupakan aktivitas terbaruku untuk memulai sebuah tekad dalam memberikan sumbangsih baik pemikiran, maupun tindakan terhadap perkembangan masyarakat dalam bingkai ekonomi syariah menuju kemakmuran dan keselamatan dunia-akherat. Karena saya meyakini bahwa jalan terbaik bagi kehidupan perdaban manusia adalah "Laailaaha illallah, Muhammadarrasulullah"... Semoga bermanfaat bagi kita semua...